🐄 Perlawanan Rakyat Di Berbagai Daerah Seperti Perang Padri
Sejakperlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar). B. Perkembangan Islam di
JTahun 1811 Herman Willem Daendels ditarik ke Belanda, karena menyengsarakan rakyat dan menimbulkan perlawanan di berbagai daerah, dan diganti dengan Jansens ; J Tahun 1811 Inggris menyerang Batavia dipimpin Lord Minto dan tanggal 18 September 1811 Jansens menandatangani Kapitulasi Tuntang yang berisi penyerahan Batavia kepada Inggris
Penetrasikumpeni menimbukan berbagai perlawanan di masing-masing daerah yang menyebabkan beberapa peperangan seperti perang Nuku (1780-1805), gerakan Ahmad Syah dan Perang Sabil. 7. Perang Padri (1819-1832) merupakan gerakan kaum Wahabiah di Sumatera Barat di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
Berikutjawaban yang paling benar dari pertanyaan: Perang Padri yang teradi tahun 1803 sampai 1838 merupakan perlawanan rakyat yang terjadi di? Maluku; Sumnatera Selata; Aceh; Sumatera Barat; Jawa Timur; Jawaban: D. Sumatera Barat. Menurut Variansi.com, perang padri yang teradi tahun 1803 sampai 1838 merupakan perlawanan rakyat yang terjadi di sumatera barat.
Halini dibuktikan dengan munculnya perlawanan besar seperti perang Diponegoro , Perang Padri, Perang Aceh, dll. Akibatnya rakyat tidak sempat mengolah lahan pertaniannya sendiri dan timbullah kelaparan dan kemiskinan di berbagai daerah. Di lain penduduk dikerahkan untuk bekerja di pabrik-pabrik dan perkebunan dengan upah yang sangat rendah
Perlawananrakyat Nusa Laut akhirnya dapat dipatahkan dan Benteng Beverwijk berhasil dikuasai kembali oleh Belanda pada tanggal 10 November 1817. peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6
KEHIDUPANAWAL MASYARAKAT DI KEPUALAUAN INDONESIA KEHIDUPAN AWAL MASYARAKAT DI KEPULAUAN INDONESIA 1. (chopper) , ditemukan oleh Koenigswald 1935 . selain di pacitan , alat - alat tersebut di temukan pula di beberapa daerah seperti: sukabumi (jabar) , parigi, gombong berbagai perlawanan yang terjadi pada masa colonial seperti perang
Penyebabkegagalan perlawanan mengusir penjajah di berbagai daerah. nguyennholover 3 weeks ago 5 Comments. usaha untuk mengolah atau memanfaatkan sumber daya alam mineral Demi kesejahteran manusia adalah.. A.pertambanganB.perkebunan C.kehutananD.perindus trian Table of Contents.
Bandungadalah bukan barang baru bagi masyarakat di kedua daerah tersebut. Paling tidak, setiap musim hujan tiba, maka banjir pun mengikutinya. (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan
Demikianpula pada beberapa daerah di Maluku, kehadiran kaum pendatang (cerdik pandai) diberikan penghargaan untuk menjadi pemimpin di daerah tersebut. Dengan demikian sesungguhnya sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Maluku telah mengenal dan menerima nilai-nilai pluralitas baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat (suku, agama
DampakPerang Padri. Dampak dari perang Padri sendiri yaitu tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol oleh Belanda yang kemudian diasingkan hingga akhirnya wafat. Dampak yang lain yaitu jatuhnya Sumatra Barat ketangan Belanda Berikut ini beberapa dampak perang Padri secara singkat, meliputi : Penderitaan rakyat akibat perang. Kerugian harta dan tenaga.
Judul: Perkembangan Pengaruh Barat di Indonesia pada Masa Kolonial. Mata Pelajaran : Sejarah. Kelas / Semester : XI / 2. Waktu : 3 x 45 menit. Petunjuk Khusus : Baca secara cermat sebelum mengerjakan tugas. Baca literatur lain sesuai materi untuk menambah pemahaman anda. kerjakan setiap langkah sesuai dengan tugas.
BZMwlb. Seperti yang diketahui, kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dengan mudah begitu saja. Butuh perjuangan keras yang dilakukan oleh para pahlawan dalam mendapatkan kemerdekaan bahkan melalui peperangan, salah satunya adalah Perang Padri. Bisa dibilang jika Perang Padri merupakan salah satu peperangan terlama yang terjadi selama masa perjuangan melawan para penjajah. Pada awalnya, perang ini terjadi akibat perbedaan prinsip tentang agama antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Akan tetapi, lama-lama perang tersebut menjadi perjuangan untuk melawan penjajah Belanda. Hal ini karena Kaum Adat dan Kaum Padri justru bergabung menjadi satu dan berjuang melawan Belanda. Untuk lebih jelasnya, simak informasi berikut ini. BACA JUGA Kerajaan Demak Sejarah, Masa Kejayaan & Masa Keruntuhan Mengenal Perang Padri Tirto Perang Padri terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang saat ini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Bisa dibilang Ini adalah perang saudara yang dulunya pernah terjadi. Perang Padri latar belakang berawal dari masalah agama Islam dan adat sebelum penjajah Belanda masuk dan ikut campur tangan ke dalam masalah tersebut. Pertikaian yang terjadi antara sesama orang Minang tersebut berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi yakni dari 1803 sampai 1838. Namun, ada juga beberapa sumber yang menyebutkan perang padri 1821 sampai 1837. Terlepas dari itu semua, ada beberapa golongan yang terlibat di dalam perang ini, yakni Kaum Padri kelompok agamis, Kaum Adat, dan Belanda yang menggunakan taktik licik untuk memecah-belah rakyat. Pada akhirnya, peperangan yang satu ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajahan Belanda. Perang padri di sumatera barat dipimpin oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai, dan lainnya. Wikipedia Sejarah dari perang padri ini dimulai pada 1803 saat ada tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah setelah menjalankan ibadah haji di Tanah Suci. Mereka bertiga dikenal dengan nama Haji Sumanik, Haji Miskin, dan juga Haji Piobang. Tulisan dari Azyumardi Azra yang dimuat di dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries 2004 menyebutkan jika awalnya mereka bertiga berniat untuk memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum dijalankan dengan sepenuhnya. Seorang ulama yang bernama Tuanku Nan Renceh, mendukung dan tertarik untuk ikut andil untuk melaksanakan niat dari ketiga haji yang baru saja pulang dari Saudi Arabia tersebut. Pada akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan juga mengajak orang lain untuk ikut serta. Mereka tergabung di dalam kelompok yang bernama Harimau nan Salapan. Harimau nan Salapan kemudian meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang Pagaruyung, Sultan Arifin Muningsyah, serta kerabat kerajaan untuk bergabung. Selain itu, mereka juga diminta untuk meninggalkan kebiasaan adat yang tidak selaras dengan syariat Islam. Namun, Yang Dipertuan Pagaruyung nampaknya kurang sepakat. Selain itu, Sultan Arifin Muningsyah juga tidak ingin meninggalkan tradisi yang sudah dijalankan secara adat di Minangkabau. Mengutip dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat beberapa kebiasaan di Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti judi, sabung ayam, dan juga minum minuman keras. Padahal saat itu, masyarakat adat telah banyak yang memeluk agama Islam. Kebiasaan-kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan aturan masyarakat Kaum Adat yang mayoritas menganut agam Islam. Karena itu, kaum Padri atau kelompok agamis pun secara terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan tersebut. BACA JUGA Apa itu Perangkat Lunak Pengertian, Jenis, dan Contohnya Kronologi Perang Padri CTZone Dehasen Peperangan antar saudara di tanah Minang pun tak bisa dihindarkan. Pada 1803, Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri menuju Kerajaan Pagaruyang. Hal ini membuat Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Pada 1815, Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Terdapat beberapa perang padri tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan, di antaranya yakni Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Receh, Tuanku Tambusai, Tuanku Rao, Tuanku Lintau, Tuanku Pandai Sikek, Tuanku Mansiangan, serta Tuanku Barumun. Karena semakin terdesak, kemudian golongan Adat meminta bantuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang pada saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk juga dengan Minangkabau. Kemudian pada 4 Maret 1822, Kaum Padri berhasil diusir oleh pasukan dari Hindia yang dipimpin kolonen Raff Belanda dari Kerajaan Pagaruyung. Setelah itu, Raff membangun benteng pertahanan bernama Fort Van der Capellen di Batu Sangkar. Tepat pada 10 Juni 1822, pasukan Raff dihadang laskar kaum Padri namun mereka berhasil melanjutkan perjalanan sampai Luhak Agam. Perlawanan orang-orang dari kelompok Padri, membuat Belanda terdesak dan akhirnya kembali ke Batu Sangkar. Dan pada 13 April, Raff menyerang ke markas pertahanan kaum Padri yang ada di daerah Lintau. Pertempuran tersebut mampu membuat Belanda mundur pada 16 April 1823. Kemudian, Raff meminta Sultan Arifin Muningsyah agar datang ke Kerajaan Pagaruyung, namun pada 1825, sang sultan sudah wafat. November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata dan membuat strategi licik berupa Perjanjian Masang. Saat itu, Belanda kewalahan dan kehilangan sumber daya untuk membiayai beberapa perang yang lain. Selama masa gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat bersatu, karena lawan yang sebenarnya adalah penjajah Belanda. Kesepakatan dan perdamaian antara kaum Padri dan kaum Adat ini akhirnya tercapai. Kesepakatan tersebut diadakan di atas Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, dan dikenal sebagai “Plakat Puncak Pato”. Berakhirnya Perang Padri Made Blog Perang padri berakhir setelah Perang Jawa pada 1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, Belanda kembali menjadi Minangkabau sebagai pusat fokus. Pasukan kolonial pun membangun benteng di wilayah Bukittinggi yang bernama Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang pasukan gabungan dari Kaum Padri dan juga Kaum Adat. Sadar akan hal tersebut, Belanda kembali mengatur siasat, dan berdalih jika kedatangan mereka hanya untuk berdagang serta menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi dan lagi, Belanda menerapkan siasat licik untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 1837, dan kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, kemudian Minahasa sampai wafat di sana. Perang pun kembali berkobar, dan kali ini Belanda lebih unggul. Pada 1838, Belanda berhasil menembus pertahanan terakhir dari rakyat Minangkabau yang ada di Dalu-Dalu. Dalam peperangan tersebut, pasukan Minangkabau dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan pengikutnya yang selamat, kemudian mengungsi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. tu dia penjelasan mengenai Perang Padri singkat yang bisa Sedulur pahami. Dari sini kita bisa paham jika persatuan dan kesatuan itu sangat dibutuhkan untuk mempertahakan eksistensi sebuah bangsa. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan, pihak musuh bisa dengan mudah membobol pertahanan yang membuat kita bercerai berai. Oleh karena itu, butuh persatuan dari Sabang dari Merauke untuk Indonesia bisa merdeka. Mau belanja bulanan nggak pakai ribet? Aplikasi Super solusinya! Mulai dari sembako hingga kebutuhan rumah tangga tersedia lengkap. Selain harganya murah, Sedulur juga bisa merasakan kemudahan belanja lewat handphone. Nggak perlu keluar rumah, belanjaan pun langsung diantar. Yuk, unduh aplikasinya di sini sekarang! Bagi Sedulur yang punya toko kelontong atau warung, bisa juga lho belanja grosir atau kulakan lewat Aplikasi Super. Harga dijamin lebih murah dan bikin untung makin melimpah. Langsung restok isi tokomu di sini aja!
- Perang Padri adalah sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Perang Padri diketahui terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada tahun juga Apa Itu Strategi Winning the Heart pada Masa Perang Padri? Semula Perang Padri adalah perang saudara yang kemudian berakhir menjadi perang melawan pemerintahan pemerintah kolonial Belanda. Baca juga Biografi Singkat Tuanku Imam Bonjol dan Sejarah Perang Padri Salah satu tokoh dari peristiwa Perang Padri yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol. Baca juga Strategi Belanda dalam Perang Padri Penyebab Perang Padri Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran agama antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Pertentangan terjadi karena kaum Padri atau kelompok ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di masyarakat Kaum Adat. Bermula dari kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 2005 karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah. Diketahui kebiasaan Kaum Adat dalam kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau, serta penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Sebelum pertentangan ini terjadi, sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat yang tidak menemukan kata sepakat. Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih tetap menjalankannya. Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian meletus sebagai perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah. Kronologi Perang Padri Setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam, meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan kaum adat. Saat itu Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih dikenal dengan sebutan Harimau nan Salapan. Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini. Wikimedia Commons Ilustrasi Perang Padri yang berlangsung sejak 1803-1838 Namun kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali menyerang Lintau. Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Saat itu memang posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah Eropa dan Jawa Perang Diponegoro yang menguras dana pemerintah. Selama periode gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar. Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau. Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 dan telah merugikan kedua belah pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir. Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Diketahui nagari Pandai Sikek adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya. Shutterstock/KiwiGraphy Studio Benteng Fort de Kock, di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut, melainkan untuk berdagang dan menjaga keamanan. Sebagai Belanda alasan bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah akan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda. Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap. Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu Rokan Hulu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember 1838. Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda. Dampak Perang Padri Perang Padri yang berlangsung selama sekitar 20 tahun pertama perang itu 1803-1821 praktis memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang Minangkabau dan Batak Mandailing. Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda. Selain itu, Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah kepada Belanda harus ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Namun dampak Perang Padri bagi penduduk setempat pada akhirnya adalah lahirnya persatuan para pemimpin tradisional dan agama. Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
- Perang Padri adalah perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Latar belakang sejarah Perang Padri berawal dari masalah agama Islam dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur antara sesama orang Minang ini berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi, tepatnya dari tahun 1803 hingga 1838. Ada beberapa golongan yang terlibat, yakni kaum Padri kelompok agamis, kaum adat, serta Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah rakyat akhirnya, peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan Renceh, dan Belakang Perang Padri Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah usai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tulisan Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries 2004, menyebutkan, ketiga haji ini awalnya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan. Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk ikut andil dan mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan mengajak orang-orang lain untuk turut serta. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang Pagaruyung, Sultan Arifin Muningsyah, dan kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat. Sultan Arifin Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ada beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus dengan misi melaksanakan amar ma’ruf nahi juga Sejarah Matinya Si Pemecah-Belah Cornelis Speelman Ahmad Khatib Datuk Batuah Haji Kiri, Istikamah di Jalur Merah Sejarah Kerajaan Sriwijaya & Pusat Pengajaran Agama Buddha Kronologi & Tokoh Perang Padri Peperangan antar saudara di ranah Minang pun tak terelakkan. Pada 1803, seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Tahun 1815, golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Beberapa tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan di antaranya adalah Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel Raff berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Di Batu Sangkar, Raff membangun benteng pertahanan yang bernama Fort Van der Capellen. Tepat 10 Juni 1822, pasukan Raff yang bergerak dihadang oleh laskar kaum Padri, namun Belanda berhasil melanjutkan perjalanannya ke Luhak Agam. Pertempuran di daerah Baso terjadi pada 14 Agustus 1822. Kapten Goffinet dari pihak Belanda mengalami luka berat dan akhirnya wafat pada 5 September juga Inilah Srikandi Aceh Penerus Cut Nyak Dhien Pocut Baren Hari-Hari Terakhir Perlawanan Cut Nyak Dhien Berondongan Peluru Mengakhiri Siasat Jitu Teuku Umar Perlawanan orang-orang Minangkabau dari kelompok Padri membuat Belanda terdesak hingga akhirnya memutuskan kembali ke Batu Sangkar. Pada 13 April tahun berikutnya, Raff kembali menyerang ke daerah Lintau, markas pertahanan kaum Padri. Pertempuran ini terjadi amat sengit hingga menyebabkan Belanda mundur pada 16 April 1823. Raff kemudian meminta Sultan Arifin Muningsyah untuk datang ke Kerajaan Pagaruyung. Akan tetapi, pada 1825, sang sultan wafat. Tanggal November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik berupa Perjanjian Masang. Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak sumber daya untuk membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan Pangeran Diponegoro di masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Belanda. Buku Muslim Non Muslim Marriage Political and Cultural Contestations in Southeast Asia 2009 yang disusun oleh Gavin W. Jones dan kawan-kawan, menuliskan, perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato". Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur' juga Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan Ekspedisi Maut di Gayo Sejarah Belanda Membantai Rakyat Aceh Imajinasi Atas Makkah yang Memantik Perang Padri Berakhirnya Perang Padri Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan siasat licik, Belanda kembali memusatkan fokus ke Minangkabau. Pasukan kolonial membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang. - Sosial Budaya Kontributor Yuda PrinadaPenulis Yuda PrinadaEditor Iswara N Raditya
perlawanan rakyat di berbagai daerah seperti perang padri